Medan, (Analisa). Sejak tahun 2006 industri di Indonesia menghasilkan 26.514.883 ton limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3). Limbah yang dapat menimbulkan bahaya bagi lingkungan hidup itu tersebar di berbagai sektor industri.
Limbah B3 itu meliputi industri kimia hilir sebanyak 3.282.641 ton B3, industri kimia hulu 21.066.246 ton B3, industri logam mesin tekstil aneka sebanyak 1.742.996 ton, industri kecil menengah 423 ton.
Ditambah lagi Indonesia juga mengimpor B3 setiap tahun dari Jepang, Cina, Prancis, Jerman, India, Belanda, Korea, Inggris, Australia yang diperkirakan berjumlah 2,2 juta ton.
“Limbah B3 ini dapat menimbulkan bahaya bagi lingkungan hidup, keselamatan manusia dan makhluk hidup lainnya jika tidak dikelola secara benar,” tegas Prof Syamsul Arifin Ketua Panitia Seminar Nasional dan Pertemuan Pembina Hukum Lingkungan (PPHL) se Indonesia dengan tema Satukan Langkah Lindungi Ekosisten Pesisir dari Dampak Perubahan Iklim diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baru-baru ini.
Oleh karena itu, lanjut Syamsul Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) menyelenggarakan seminar tersebut dengan menghadirkan para pakar lingkungan maupun akademisi bidang lingkungan serta Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut DR Ir Hidayati MSi sebagai pembicara.
Asal Rumah Sakit
Lebih lanjut dikatakan Syamsul, limbah B3 yang dihasilkan itu berasal dari rumah sakit, industri, pertambangan, pemukiman yang belum dikelola secara serius, meskipun Indonesia telah meratifikasi basile convention dan memiliki Undang-Undang No. 19 tahun 2009 tentang pengesahan bahan pencemar organik diikuti PP Tahun 1971 tentang pengolahan limbah B3 dan Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam undang-undang itu telah diatur kewajiban dari pengelolaan limbah B3, penghasil, penyimpan, pengguna, pengangkut dan pengedar. Sampai saat ini hanya ada satu fasilitas pengelolaan limbah B3 yang dikelola swasta di Cibinong.
“Namun kenyataan tingginya biaya, rumitnya pengelolaan B3, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap limbah dan bahaya B3 ini menjadi kendala untuk mengelola B3. Oleh karena itu, hal inilah yang perlu dibahas,” jelas Syamsul yang juga Wakil Himpunan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia ini.
Sementara Kepala BLH Sumut Dr Ir Hidayati MSi mengungkapkan, dalam menangani persoalan limbah B3 di Sumut, BLH Sumut sudah melakukan mekanisme koordinasi berupa penguatan kelembagaan dengan meningkatkan peran serta pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
“Selain itu, BLH Sumut juga melakukan peningkatan koordinasi antara Kementerian Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk menangani limbah B3 ini,” jelas Hidayati.
Dalam seminar yang diikuti seluruh dosen fakultas hukum dari semua universitas di Indonesia sebagai peserta, turut menghadirkan pembicara lainnya, Prof Dr Urip SH dari USU, Aston Siregar dari Asosiasi Pengelohan Limbah B3 Indonesia, Himsar Sirat SH Asisten Deputy Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH, Kabid Penaatan dan Komunikasi Lingkungan Dr Indra Utama MSi dan lainnya. (mc)
Komentar pribadi
Pada kasus di atas benar benar prihatin terhadap apa yang terjadi, karena banyak sekali masalah yang di timbulkan oleh pabrik industri, solusi demi solusi belum tergerak penuh untuk mengatasi masalah tersebut. Begitu krusial masalah limbah pabrik, karena efek atau dampak nya yang di hasilkan itu yang sangat berbahaya. Seperti limbah yang tergolong B3, yang terkandung logam, dan zat berbahaya lainnya. Sampah sampah ini akan menyebabkan kerusakan ekosistem pada lingkungan sekitar pabrik. Ekosistem sangat akan terganggu akan limbah pabrik yang berbahaya, akan mempengaruhi kelangsungan hidup manusia yang bertahan hidup dari penghasilan lingkuan sekitar pabrik, seperti sawah yang akan tercemar, sehingga gagal panen. Ada pun asap pabrik yang mencemari udara yang dapat menyebabkan sakit pada mahkluk hidup yang tinggal di lingkungan pabrik. Hal ini sangat tidak bisa dibiarkan karena sangat berbahaya, pembuatan pabrik industri di lahan yang banyak penduduknya sangatlah tidak tepat karena memperburuk ekosistem sekitar. Salah satu solusi untuk kasus ini adalah pembangunan pabrik harus terletak di daerah yang jauh dari pemukiman penduduk atau perkotaan, seperti di daerah puncak gunung. Hal ini dapat menanggulangi pencemaran udara, karena hutan atau kebun yang menyerap polusi dari pabrik. Dan untuk limbah air pabrik seharusnya membuat recycle limbah atau membuang limbah pada lokasi yang tepat dan tidak pada sumber mata air atau ekosistem ya g di bahayakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar